Sunday 14 March 2010

Teater Dongkrak antara "Sadrah dan Rasa Tumarima" yang belum total






Ini adalah sebuah analisis terhadap proses kreatif yang tengah dilakoni kelompok kesenian Teater Dongkrak menuju FDBS (Festival Drama Basa Sunda XI Tahun 2010 ) di Gedung Kesenian Rumentang Siang Tanggal 4 Maret sebagai salah satu peserta yang mendapat posisi ke 16 dari urutan pelaksanaan pementasan. saya sendiri tidak begitu intens mengikuti proses latihan tersebut, hanya saja ketika ada waktu luang kita sempat berbicara serta mendiskusikan berbagai hal yang dirasa patut untuk di evaluasi sedemikian rupa.
Kita pun tahu di Tasikmalaya, nama kelompok Teater Dongkrak telah menjadi sebuah ikon serta mark terlegitimasi sebagai salah satu kelompok kesenian yang besar dan hebat, apalagi Dongkrak sempat mendapat julukan Maung Lodaya nya tasik, pandai mengaum dan menguap begitu saja. mengasah cakar, menjilat tubuh, dan menggeliat. tentu saja aktifitas ini menjadi sebuah afiliasi yang belum total menerima kenyataan bahwa memang dongkrak adalah sebuah kelompok yang besar dan kuat.

Tepat kiranya ketika Dongkrak memutuskan untuk menggarap Naskah Sadrah nya Kang Nunu Nazarudin Azhar, terlepas dari keterikatan geografis bahwasanya Kang Nunu adalah Pituin Tasik, dan Secara Historis tidak bisa disangkal antara Dongkrak dan Kang Nunu mempunyai keterikatan batin yang begitu romantis.

Saya sering membaca Naskah Sadrah ini, membolak balik makna dan maksud. begitu mengena alam realisnya sehingga penggunaan tema sosial kiranya sangat tepat dan brilian untuk di jewantahkan ke dalam media panggung.

Ada beberapa poin yang ingin dibahas secara tekstual kepada rekan-rekan dongkrak di sini. terlepas dari wujud naskah dan wujud panggung yang tengah di geluti serta pembedahan yang lebih alturistik oleh Kang Jabo beserta patih-patih Dongkrak lainnya.

Pertama : SDM yang tidak sempurna yang dimiliki Dongkrak, dan ini menjadi sebuah dilematisme tersendiri buat tubuh organisatoris. anatomi yang belum total menyimpan konsep sadrah secara lilahi ta'ala. mencerabut organ dari organ yang lain tentu akan menjadi sebuah gejala simbiosis.
Simbiosis adalah hubungan antara dua mahluk hidup yang memiliki ketergantungan. Simbiosis ada tiga macam, yaitu :

a. Mutualisme : Dimana keduanya saling menguntungkan
b. Komensalisme : Dimana yang satu merasa untung sedang yang lain tidak dirugikan
c. Parasitisme : Yang satu untung, yang satu lagi menderita

Dan dalam kehidupan sebagai seniman, hubungan ini ternyata dapat saya temui juga. Contoh nyatanya bisa kita lihat menjelang pagelaran.

Begini, beberapa hari menjelang pagelaran biasanya para seniman terlihat amat sibuk. Bukan sibuk dengan karya, tapi sibuk mencari bahan karya. Dari sini, bisa kita lihat berlakunya simbiosis, baik mutualisme, komensalisme, maupun parasistisme.

Nah permasalah semacam ini menjadi persoalan biasa saja tetapi akan terlihat menjadi luar biasa dan kacau jika terlihat oleh kacamata totalisme berkesnian secara kompetitor. terlebih di dalam kubu dongkrak ada dualisme yang di lakoni oleh ikon-ikon dongkrak itu sendiri....
Rupanya Dongkrak belum secara nyata memaknai sadrah dan rasa tumarima yang total. terkahir, apapun penilian orang terhadap dongkrak, semoga jadi motivasi yang pasti dan terencana...
Demikian catatan kecil ini saya buat dan saya dedikasikan buat rekan-rekan dongkrak di tasikmalaya sebagai wujud cinta kasih yang total. kita mesti pasrah pada akhirnya jika harus menjadi juara pertama di FDBS nanti.. semoga saja

penulis: Mang Oyon. (danar@crypton97.zzn.com)

No comments:

Post a Comment

satu komentar, satu buku bagi saya....